Senin, 12 Oktober 2009

Keputusan Penting NU di Rembang

"Khittah", Sekularisasi Politik, Kemandirian NU

Oleh Rumadi

“All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concept” (George Schwab, ’Introduction’ dalam Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignity, 1934).
RAPAT Syuriah PBNU di Rembang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu akirnya menon-aktifkan Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid dari jabatan sebagai Ketua Umum dan Ketua Tanfidziyah PBNU menyusul pencalonan mereka sebagai calon wakil presiden, masing-masing mendampingi Megawati dan Wiranto (Kompas, 18 Mei 2004).
Rapat itu juga mengintruksikan seluruh pengurus NU di berbagai tingkatan yang terlibat menjadi tim sukses capres-cawapres agar segera non-aktif dari kepengurusan NU. Hal ini dilakukan agar institusi NU tidak diseret dalam tarik-menarik kepentingan politik.

Meski agak terlambat, keputusan tersebut cukup melegakan. Bukan saja mengakomodasi aspirasi banyak kalangan di lingkungan NU, tetapi sekaligus juga menunjukkan supremasi ulama yang direpresentasi dalam lembaga Syuriah. Syuriah sebagai simbol supremasi ulama selama ini terkesan dikesampingkan, bahkan selama tiga periode kepemimpinan Gus Dur di NU, 1984-1999, institusi Syuriah selalu berada di bawah bayang- bayang Gus Dur, sehingga kurang menunjukkan signifikansi perannya.
Karena itu, keberanian Syuriah di bawah kepemimpinan KH Sahal Mahfudh yang berani “menyemprit” dan memberi “kartu kuning” kepada Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid cukup memberi harapan akan independensi NU dari godaan politik praktis. Inilah lembaga yang diharapkan menjadi “pintu terakhir” penyelamat khittah. Kita tinggal menunggu implementasi dan ketegasan sikap Syuriah untuk terus mengontrol syahwat politik para elitenya. Syuriah tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan, tetapi harus secara lebih gigih membentengi institusi NU “dimanipulasi” untuk kepentingan politik berjangka pendek.
Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian secara lebih serius karena belakangan ini ada indikasi kuat bahwa institusi NU “dimanipulasi” untuk mendukung capres dan cawapres tertentu. Modus yang kita baca dari berbagai pemberitaan adalah dengan memobilisasi cabang-cabang NU kemudian diklaim sebagai dukungan orang per orang, bukan institusi. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, telah berlangsung pertemuan pengurus cabang NU yang dimobilisasi oleh pengurus wilayah. Statement di akhir pertemuan itu sangat jelas, yaitu membulatkan dukungan untuk capres dan cawapres tertentu. Meskipun pada awalnya menggunakan institusi NU sebagai sarana mobilisasi dukungan, pada akhirnya hal ini “dimanipulasi” sebagai dukungan orang per-orang, bukan institusi NU.
Ilustrasi di atas cukup memberi gambaran bahwa tidak mudah bagi Syuriah untuk mengontrol politisasi institusi NU di tingkat bawah. Di sinilah Syuriah benar-benar diuji keberaniannya untuk menyelamatkan institusi NU dari godaan- godaan pragmatisme politik.
PANGKAL tolak perdebatan tentang netralitas politik NU adalah khittah. Meskipun khittah lahir pada suasana politik yang “tidak normal” karena otoritarianisme Orde Baru, pilihan ini dianggap sebagai jalan yang paling tepat bagi NU meskipun implementasinya sangat dipengaruhi berbagai situasi politik. Harus diakui, tidak mudah bagi institusi NU untuk mengimplementasikan khittah karena perubahan suasana politik, terutama setelah era reformasi. Bahwa NU meninggalkan baju politik setelah kembali ke khittah pada 1984, mudah dipahami oleh warga NU. Tetapi, tidak demikian dengan netralitas NU terhadap parpol dan membebaskan warga NU untuk menentukan orientasi politiknya.
Kesulitan itu muncul di tingkat massa NU yang sangat paternalistik dan terus dikondisikan untuk selalu minta “fatwa” kepada ulama dalam menghadapi persoalan hidup, termasuk dalam membuat pilihan politik atau mendukung seorang tokoh. Warga NU terbiasa berbuat dan bertindak secara kolektif dengan arahan yang jelas. Oleh karena itu, membebaskan warga NU untuk membuat pilihan politiknya sendiri bukan hal yang mudah, karena hal itu bertentangan dengan nature dan pola pikir warga NU.
Di sinilah posisi dilematis NU, mengabaikan problem warganya sama artinya NU tidak mau tahu dengan masalah hidup warganya, dan itu berarti NU menjadi tidak punya makna. Sementara memberi pilihan secara eksplisit NU akan terjatuh pada lubang yang pernah membuatnya terkapar. Karena itu, implementasi khittah senantiasa berubah dalam setiap penggal sejarah NU.
Menurut saya, konsep kembali ke khittah bukan saja merupakan keputusan politik untuk tidak terikat dengan partai politik tertentu, tetapi juga merupakan jalan “sekularisasi politik” yang dilakukan NU. Khittah sebagai strategi sekularisasi politik ini tidak disadari banyak kalangan, namun itulah cara NU melakukan negosiasi dengan realitas politik yang berkembang saat itu. Justru karena abnormalitas politik itulah, khittah menjadi pilihan politik NU yang sangat strategis untuk menghindari “peng-agama-an” pilihan politiknya. Oleh karena itu, khittah pada dasarnya merupakan strategi modernisasi politik yang ditempuh NU untuk merelevansikan dirinya dengan perubahan politik. Di sinilah kutipan dari George Schwab di awal tulisan menjadi penting untuk melihat hal ini. Namun, problemnya justru terletak pada kultur warga NU yang tidak siap dengan implikasi khittah yang meniscayakan kemandirian pilihan politik.
Ketidaksiapan elite dan warga NU melakukan “sekularisasi politik” dalam mengimplementasi khittah ini bisa dijadikan alat analisis untuk menjelaskan mengapa banyak capres yang begitu ngotot menjadikan kader NU sebagai cawapresnya. Ini bak pisau bermata dua bagi NU, menguntungkan sekaligus merugikan. Menguntungkan karena paternalisme politik NU akan memudahkan untuk melakukan mobilisasi dukungan dan merugikan karena warga NU akan selalu menjadi “obyek” kepentingan, baik oleh elitenya sendiri maupun kekuatan politik lain yang berhasil menjalin hubungan dengan patron NU.
Sayangnya, beberapa tokoh NU yang tergoda dengan “rayuan politik” tidak begitu menyadari bahwa mereka lebih sebagai “obyek” daripada “subyek” politik. Mereka berada di pihak yang “dimanfaatkan” daripada “memanfaatkan”. Karena itu, salah satu butir keputusan rapat Syuriah di Rembang yang terus mendorong untuk pendewasaan politik warga NU menjadi sangat penting. Pendewasaan itu dilakukan dengan menggeser warga NU dari “obyek” menjadi “subyek” politik.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa ini bukan perkara mudah karena menyangkut perubahan kultur NU yang sangat mendasar, yaitu soal paternalisme politik. Kiai-kiai NU yang selama ini berfungsi sebagai patron tidak mudah untuk mereformasi diri. Demikian juga dengan warga NU, tidak mudah melepaskan keterikatan politik dengan kiai panutannya.
Namun, ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian bersama. Pertama, disadari atau tidak, kiai-kiai NU telah sangat dalam terlibat dalam upaya dukung mendukung capres. Memang, keterlibatan kiai dalam momen-momen politik bukanlah hal baru. Sejak masa-masa awal kemerdekaan komunitas kiai senantiasa terlibat dalam berbagai peristiwa politik. Namun, keterlibatan tersebut tidak bersifat monolitik. Namun, hal yang paling mengerikan adalah kalau terjadi “perselingkuhan” antara pemegang kekuasaan dengan kiai (lihat Endang Turmudzi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, 2004, LKiS).
Kedua, komunitas kiai sebagai modal sosial NU yang tidak dimiliki komunitas lain, seharusnya ditempatkan (atau menempatkan diri) sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Mereka dibutuhkan hanya pada saat-saat politisi membutuhkan dukungan. Setelah itu, kiai kembali dipandang sebagai komunitas tradisional tiada guna.
Ketiga, kiai NU harus sadar betul bahwa apa pun sikap politik mereka akan membawa dampak terhadap masyarakat NU yang masih memandang kiai sebagai panutan, bukan hanya dalam urusan keagamaan tapi juga dalam hal sikap politik. Oleh karena itu, kearifan kiai NU dalam membentuk sikap politik warganya juga harus diikuti oleh kesadaran akan dampak sikap tersebut.
Rumadi
Peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) dan Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
(Kompas/26/05/2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer